Logo FFI
Catatan Dewan Juri Akhir FFI 2021 - Film Cerita Panjang
12 Nov 2021

Catatan Dewan Juri Akhir FFI 2021 - Film Cerita Panjang

KERAGAMAN DAN KESIAPAN EKOSISTEM PERFILMAN KITA

Sejak semula, kesadaran akan pentingnya “Ekosistem Perfilman Indonesia” menjadi semangat dasar sistem penjurian kategori film panjang di FFI 2021. Setelah beberapa tahun menerapkan sistem voting penuh, tahun ini Komite FFI 2021 menerapkan sistem hibrida dengan mekanisme sistem Dewan Juri untuk pemenang terakhir dari para nomine dalam 17 kategori nominasi, setelah dua tahap sebelumnya menggunakan sistem voting untuk menghasilkan nominasi. Dan dewan juri, terdiri dari 15 orang, diupayakan mewakili unsur-unsur utama ekosistem perfilman Indonesia saat ini.

Demikianlah, para juri mewakili unsur asosiasi profesi perfilman Indonesia, ditambah perwakilan dari profesi seperti aktor, editor, penata artistik, penata musik, dan perwakilan akademisi, jurnalis, dan kritikus. Dari upaya menyusun sebuah dewan juri yang seoptimal mungkin mewakili ekosistem perfilman kita, diharapkan ada sebuah diskusi yang mencapai penilaian kualitatif yang kukuh dan mencerminkan apresiasi keragaman film-film Indonesia sepanjang 2020-2021 yang masuk ke dalam seleksi FFI tahun ini.

Keragaman masihlah sebuah kata kunci yang penting, sekaligus sebuah kata yang masih musykil dalam perfilman kita. Keragaman yang dimaksud, dalam lingkup pembuatan film saja, mengandung banyak segi: keragaman visi, keragaman tematik, keragaman pendekatan sinematik, hingga pada keragaman genre.

Joko Anwar, misalnya, mencatat keragaman genre pada ketujuh nomine film terbaik: drama coming of age dalam film Ali dan Ratu-Ratu Queens, Cinta Bete, dan Yuni; drama tentang toleransi beragama pada Bidadari Mencari Sayap; thriller domestik dalam Paranoia; hi-tech thriller bertema sexual harassment pada Penyalin Cahaya; dan action-thriller pada Preman. Putut Widjanarko dan saya melihat adanya keragaman gagasan dan tanggapan atas masalah sosial berlapis banyak pada film Yuni, dan sampai titik tertentu juga pada Jakarta vs Everybody. Tommy F. Awuy menyoroti keragaman sikap terhadap moralitas, khususnya pada Yuni dan Penyalin Cahaya. Dan Arturo GP melihat menonjolnya sudut pandang perempuan dalam tema, cerita, bahasa sinematik, dan proses pembuatan film secara umum dari seluruh nomine. Arturo GP juga mencatat keragaman ekspresi sinematik dari generasi X, Y, dan Z yang mewarnai film-film yang kami nilai. Itu hanya sebagian dari ragam pandangan anggota dewan juri terhadap film-film yang dinilai.

Keragaman tersebut membuka jalan bagi dua pendekatan yang dominan dalam menyikapi dan menilai film-film serta unsur-unsur film. Dua pendekatan ini membuat proses sebuah kesepakatan tentang asas penilaian pun bisa melahirkan perdebatan dari dua pemahaman yang berbeda terhadap asas yang disepakati. Misalnya, para juri bersepakat untuk menilai unsur-unsur dari “capaian”-nya, dan bukan dari hal “selain-pencapaian”. Maka, memaknai apa itu “pencapaian” pun bisa melahirkan pemaknaan, dan karenanya penilaian, yang kadang bertentangan secara diametrik.

Kedua posisi penilaian tersebut adalah: Pertama, penilaian yang berbasis pencapaian profesional dalam industri film, dengan tekanan utama pada pencapaian unsur teknis dan kepaduan unsur-unsur itu membentuk keseluruhan film. Tujuan utama penilaian dengan basis ini adalah lahirnya sebuah benchmark atau tolok ukur bagi standar mutu pembuatan film dalam industri perfilman Indonesia. Kedua, penilaian berbasis watak film sebagai produk budaya dan industri, dengan memperhitungkan konteks yang luas, termasuk kemampuan sebuah film memasuki percakapan gagasan di kancah sinema dunia saat ini. Dalam posisi ini, unsur teknis dan kriya (craft) pembuatan film diperhitungkan dalam konteks capaian eksploratif dan kepaduan yang bisa mengangkat film ke aras kerja kebudayaan lebih luas.

Tentu saja perbedaan posisi dan basis penilaian tersebut menghasilkan perdebatan-perdebatan, mengudar berbagai perspektif, walau pada akhirnya bermuara pada keputusan yang harus dicapai melalui mufakat dan, pada beberapa kasus, voting (yang hanya dipilih sebagai langkah ketika sudah terjadi diskusi yang optimal tanpa mencapai mufakat).

Catatan utama dari proses penjurian ini adalah, para juri terkunci bekerja dengan hasil pilihan dari proses pemilihan nominasi sebelumnya. Misalkan, para juri tahap akhir menemukan ada film-film yang seharusnya diperhitungkan sebagai nomine unsur penyutradaraan atau sinematografi, tapi tak ada dalam pilihan nomine. Atau, sebaliknya, para juri gagal memahami kenapa ada film-film tertentu yang masuk nomine unsur tertentu padahal ada film-film lain yang kami anggap lebih layak.

Kasus-kasus demikian masih terjadi sebagai risiko dari sistem voting di dua tahap sebelum penjurian akhir yang berkombinasi dengan sedikitnya waktu penilaian dari para pemilih di dua tahap sebelumnya. Sedikitnya waktu juga menyumbang pada rentannya seleksi nomine akhir terhadap (1) tak sempatnya para juri seleksi nominasi menonton semua film yang harus ditonton, dan berakibat pada potensi kuasa asumsi berdasarkan keakraban atas nama-nama tertentu, dan (2) para juri seleksi tak bisa menonton di bioskop sehingga pengalaman sinematik para juri menonton film-film tersebut terkurangi dan itu berdampak penilaian seleksi rentan pada luputnya perhatian pada unsur-unsur film yang dinilai.

Usulan dewan juri tahap akhir, sistem hibrida ini perlu diperbaiki, terutama dari segi rentang waktu penilaian yang bisa dimulai dari awal tahun depan. Juga dari segi mengupayakan agar semua film di tahap seleksi nominasi bisa ditonton secara optimal (di bioskop) oleh para juri seleksi.

Catatan tentang sistem penjurian secara umum ini adalah juga sebuah keping refleksi terhadap pertanyaan: apakah ekosistem perfilman Indonesia yang ada saat ini telah memadai untuk mewujudkan kenyataan keragaman film dan perfilman kita? Sebab, kelemahan yang terjadi sekarang terkait dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi penyelenggara. Tak seluruh keterbatasan itu ada dalam kendali Komite FFI, terlalu banyak variabel eksternal dalam infrastruktur perfilman kita saat ini yang masih jadi hambatan.

Dengan kata lain, masih banyak yang harus diperbaiki dari ekosistem perfilman kita saat ini, agar lebih siap dalam mengakomodasi keragaman tematik, sinematik, gaya, genre, khalayak, dan moda produksi film yang ada di Indonesia maupun dunia saat ini selama lima tahun ke depan. 

Tentu saja, kelemahan-kelemahan ini tidak mengurangi komitmen dan upaya para juri tahap akhir untuk menilai sebaik mungkin para nomine yang ada. Pada dasarnya, jajaran nomine yang ada telah mewakili capaian-capaian terbaik perfilman Indonesia setahun ini. Adalah wajar jika ada beberapa yang lebih menonjol dalam penilaian. Namun secara keseluruhan, inilah cermin perfilman kita saat ini. Dan cermin itu memberikan refleksi yang cukup menggembirakan, melengkapi bertaburnya kabar kiprah menonjol beberapa film Indonesia di ajang kompetisi dan festival mancanegara.

Dengan demikian, Dewan Juri Akhir Kategori Film Cerita Panjang FFI 2021 mencapai mufakat dan memutuskan para pemenang di antara para nomine dengan kesadaran bahwa ini masihlah bagian dari sebuah proses perbaikan ekosistem perfilman Indonesia. Selamat bagi para pemenang, selamat bagi para nomine FFI 2021 dan selamat bagi resiliensi (ketangguhan) perfilman kita dalam hampir dua tahun pandemi ini.

 

Salam,

Hikmat Darmawan

Perwakilan Dewan Juri Akhir FFI 2021 Kategori Film Cerita Panjang

------

Dewan Juri Akhir FFI 2021 Kategori Film Cerita Panjang

Aghi Narottama
Allan Sebastian
Arturo G.P.
Ernest Prakasa
Faozan Rizal
Hikmat Darmawan
Joko Anwar
Karsono Hadi
Niniek L. Karim
Putut Widjanarko
Rayya Makarim
Rukman Rosadi
Sheila Timothy
Tommy F. Awuy
Wina Armada


Bagikan: