Kritik Film: Respons Positif untuk Ekosistem Perfilman Indonesia
Setelah beberapa waktu sempat menghilang, kategori kritik film kembali hadir pada perhelatan Festival Film Indonesia 2021. Kritik film tidak hanya menjembatani film dan penontonnya, tetapi juga berkontribusi memberi masukan dan evaluasi bagi pembuat film yang karyanya dikritik. Pengetahuan yang disumbangkan oleh karya kritik film berperan penting dalam mendukung perkembangan perfilman Indonesia.
Menurut KAFEIN (Asosiasi Pengkaji Film Indonesia), kritik film adalah seni mengulas, menganalisis, membandingkan, atau mengevaluasi film dengan meninjau aspek naratif dan unsur-unsur sinematik. Karya kritik film dapat membahas isu sosial, kultural, dan politik, baik dalam bentuk tulisan maupun non-tulisan, dengan tidak mengabaikan pembahasan aspek sinematik.
Sejak dibuka kembali pada 2021 lalu, ruang para kritikus film untuk menyampaikan pandangannya terhadap sebuah film menjadi semakin besar. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah pendaftaran yang masuk ke Festival Film Indonesia. Jumlahnya bahkan terus meningkat dalam dua tahun terakhir ini.
Salah satunya adalah karya dari Erina A. Tandian, yang meraih penghargaan Tanete Pong Masak kategori Kritik Film Terbaik FFI 2022. Erina memilih film Love for Sale (2018) dan Love for Sale 2 (2019) sebagai film yang dikaji dalam karya kritik filmnya.
Berkenalan dengan Erina A. Tandian, Peraih Penghargaan Tanete Pong Masak Kategori Kritik Film FFI 2022
Beberapa waktu lalu, FFI berkesempatan mewawancarai Erina secara daring. Ia berbagi cerita tentang alasannya memilih film Love for Sale sebagai bahan kajian, hingga pandangannya tentang film Indonesia dan pengaruh penghargaan kritik film bagi para kritikus dan pengkaji film.
F: Apa alasan Erina memilih film Love for Sale sebagai film yang dikaji dalam karya kritik film Anda?
E: Karya kritik film ini sebenarnya diambil dari tesis saya di Institut Kesenian Jakarta. Saat masih berkuliah di sana, saya diminta untuk mengkaji karya seni Indonesia dengan tema urban. Saya memilih film Love for Sale (2018) dan Love for Sale 2 (2019) sebagai tesis, karena kedua film ini menimbulkan diskusi panjang di internet mengenai eksistensi tokoh Arini. Tokoh Arini adalah seorang teman kencan bayaran yang mampu menjelma sesuai dengan karakter yang diminta oleh para kliennya dan selalu melakukan ghosting terhadap para protagonis di akhir film. Kajian tesis saya terhadap kedua film ini berfokus pada isu perempuan, yang kebetulan sesuai dengan tema Festival Film Indonesia 2022. Kemudian, saya mengemas inti sari tesis ini ke dalam bentuk video-essay dengan gaya bahasa yang lebih komunikatif untuk didaftarkan ke Festival Film Indonesia.
F: Apa harapan Erina untuk perfilman dan masyarakat Indonesia yang menonton karya kritik film Anda?
E: Semoga, karya kritik film saya bisa bermanfaat untuk menambah wawasan tentang ilmu film, serta menginspirasi masyarakat untuk bisa turut mengkritisi film-film Indonesia yang pernah ditontonnya. Saya juga berharap karya kritik film ini bisa sampai kepada para pembuat filmnya, sehingga dapat menjadi umpan balik bagi mereka yang telah bekerja keras dalam merampungkan film-film tersebut.
F: Menurut Erina, apa pengaruh kritik film terhadap industri perfilman Indonesia?
E: Menurut saya, dalam sebuah ekosistem perfilman yang sehat, seharusnya terjalin hubungan dua arah antara pembuat dan penonton film. Kebanyakan pembuat film membuat film untuk ditonton oleh orang lain. Nah, ada kalanya, pembuat film ingin tahu seperti apa respons penonton terhadap filmnya. Di sini, peran kritikus film menjadi penting sebagai agen yang mewakili suara penonton film. Kritikus film menyampaikan pandangannya terhadap film yang sudah ditontonnya, baik hal-hal yang bersifat evaluatif maupun temuan menarik dalam film tersebut yang bahkan tak disadari oleh si pembuatnya. Harapannya, pandangan dari para kritikus film ini bisa menjadi masukan sekaligus motivasi bagi para pembuat film untuk menciptakan film yang semakin baik lagi untuk penontonnya. Jadi, hubungan ini seperti siklus yang tak putus.
F: Adakah projek karya kritik film yang sedang digarap saat ini?
E: Ada sekitar tiga film Indonesia yang cukup menggelitik untuk saya kritik atau kaji. Saat ini, saya masih dalam tahap menyusun tulisan dan mencari literatur pendukungnya.
F: Film yang baik menurut Erina yang seperti apa, sih?
E: Pada dasarnya, setiap film pasti punya sisi baiknya, entah itu sebatas hiburan atau bahkan bisa menimbulkan diskusi di masyarakat. Film yang baik menurut saya adalah film yang bisa menginspirasi, menimbulkan emosi tertentu, dan bahkan memantik pertanyaan atau pemikiran baru bagi penontonnya.
F: Apa film Indonesia favorit Erina?
E: Petualangan Sherina (2000) adalah salah satu film yang menumbuhkan bibit ketertarikan terhadap dunia perfilman sejak saya kecil. Kemudian, saya juga suka dengan film-film yang disutradarai oleh mbak Nan T. Achnas, karena memiliki statement yang kuat di ending. Di antara Pasir Berbisik (2001) atau The Photograph (2007), saya sulit menentukan mana yang lebih jadi favorit. Namun, saya sedang jatuh hati dengan film pendek mbak Nan yang judulnya Maya, Raya, Daya (2006) dan bahkan saya jadikan bahan ujian di kelas. Selain itu, film Love for Sale 2 (2019) tentunya juga masuk dalam daftar film Indonesia favorit saya. Sejujurnya, saya lebih suka sekuel yang kedua ini daripada yang pertama, karena terasa lebih relate dan emosional saat menontonnya.
F: Apa arti Festival Film Indonesia bagi Erina?
E: Festival Film Indonesia merupakan wadah apresiasi bagi masyarakat film Indonesia. Saya merasa kalau sampai saat ini, Festival Film Indonesia bisa dikatakan sebagai ajang festival film di Indonesia yang paling ditunggu, dilihat, dan dianggap bergengsi. Sebagai festival film yang sudah ada sejak 1950-an, Festival Film Indonesia terus beradaptasi mengikuti perkembangan zaman dan harus kita dukung untuk selalu ada, karena menjadi cerminan wajah perfilman Indonesia.
F: Menurut Erina, apa pengaruh penghargaan kritik film bagi para kritikus/pengkaji film?
E: Dengan adanya penghargaan ini, para kritikus dan pengkaji film merasa lebih dirangkul dan diapresiasi sebagai bagian dari ekosistem perfilman. Hal ini dapat memotivasi mereka untuk mempublikasikan pandangan atau hasil temuannya terhadap film-film yang sudah ditonton. Dengan demikian, bidang perfilman juga akan terus berkembang, bukan hanya industrinya saja, tapi juga secara akademis.
F: Apa harapan Erina untuk Festival Film Indonesia dan para kritikus/pengkaji film ke depannya?
E: Tentunya, saya berharap kategori kritik film tetap ada di Festival Film Indonesia, sebagai wujud apresiasi terhadap penonton, terutama pengkaji dan kritikus film Indonesia. Hal baik yang patut dipertahankan adalah bagaimana Festival Film Indonesia menjadikan “film Indonesia” sebagai syarat atau ketentuan untuk mengikuti kategori kritik film, sehingga ini diharapkan akan meningkatkan minat masyarakat untuk menonton dan mengkritisi film-film Indonesia.
Ambil Bagian dalam Perkembangan Ekosistem Perfilman Indonesia dengan Mendaftarkan Karya Kritik Film ke FFI 2023
Pendaftaran kritik film Festival Film Indonesia masih dibuka sampai tanggal 31 Agustus 2023. Bagi Anda para kritikus dan pengkaji film, jangan ragu untuk ambil bagian dalam ekosistem perfilman Indonesia dengan mendaftarkan karya kritik film Anda ke FFI 2023.
Persyaratan karya kritik film yang lebih lengkap bisa Anda lihat di Pedoman Pelaksanaan FFI, sedangkan pendaftaran karya kritik film bisa Anda lakukan melalui laman ini.
Kami tunggu partisipasi dari Anda sekarang juga!
Sumber:
https://www.festivalfilm.id/artikel/catatan-dewan-juri-akhir-ffi-2021-karya-kritik-film